A. Pemerintah Terbukti Tidak Mampu Mensejahterakan Petani Kita (Bag I -dari 4 tulisan)
Sudah puluhan tahun masyarakat kita yang berprofesi sebagai petani berkarya. Sebenarnya profesi mereka layak disebut ’berkarya’, disamping hanya bekerja. Ya, mereka berkarya bukan hanya untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Mereka berkarya menyediakan kebutuhan ’perut’ hampir seluruh masyarakat Indonesia. Dari mulai pejabat, pengusaha, hingga rakyat jelata di negeri ini hampir semuanya membutuhkan nasi setiap hari.
Hitungan kasarnya, jika 80% saja rakyat indonesia yang mengkonsumsi nasi sebagai kebutuhan pokoknya, maka minimal sekitar 160 juta penduduk Indonesia butuh makanan yang satu ini setiap hari. Dari sudut pandang ekonomi, jelas ini merupakan pangsa pasar terbesar untuk hitungan bisnis.
Ambil perhitungan perbandingan pangsa pasar telepon seluler di Indonesia. Beberapa operator selular di Indonesia berlomba-lomba merebut pangsa pasar dari jutaan penduduk Indonesia yang haus teknologi komunkasi ini. Ada yang baru mendapat di bawah 10 juta pelanggan, ada yang di atas 10 juta pelanggan, namun pasar mereka belumlah mencapai 160juta pelanggan. Tapi jika kita melihat laporan keuntungan mereka di berbagai media massa, laba bersih Operator XL saja bisa 1 milyar rupiah lebih dalam setahun. Belum lagi operator besar lainnya. Itu pun mereka sudah melakukan perang harga murah untuk menggaet calon konsumen baru. Kerja atau karya mereka terhitung masih baru, kebanyakan masih di bawah 10 tahun.
Sekarang kita lihat perbandingan pangsa pasar kebutuhan pokok nasi di Indonesia. Jumlahnya mungkin lebih 160 juta orang. Apa yang kita dengar dari media massa tentang kehidupan para petani yang sudah berkarya puluhan tahun itu? Sampaikah laba bersih mereka 1 milyar setahun meski digabung pendapatan jutaan petani di Indonesia? Hmm...memang pertanyaan konyol! Karena kita sendiri tentu sudah tahu jawabannya.
Yang kita dengar dari media massa sejatinya adalah kisah-kisah memilukan kehidupan petani Indonesia. Layaknya status hidup di bawah garis kemiskinan, para petani kita hidup ibarat pepatah melayu : ”hidup segan, mati tak hendak”. Ya, mereka ada ibarat tiada. Tapi jika mereka berhenti bekerja, karya mereka masih sangat dibutuhkan negeri ini. Apa jadinya jika seluruh petani Indonesia berhenti bekerja? Misal mereka mogok kerja setahun dan beralih profesi? Presiden pun pasti tidak akan tahan karena kita tahu beliau pasti juga membutuhkan nasi setiap hari.
Di sini kita hanya ingin mengangkat permasalahan dasar yang di hadapi para petani kita. Mereka pada umumnya miskin, tidak punya lahan lagi, banyak anak, pendidikan kurang, harga pupuk dan sarana produksi pertanian semakin mahal, sementara harga beras yang mereka produksi dibeli dengan harga rendah. Inilah yang ingin kita angkat dan kita katakan bahwa pemerintah terbukti tidak mampu mensejahterakan petani.
Ooh...sungguh malang petaniku!
To be continued........
A. Pertanian ”Kimia” telah Merosotkan Nilai Ekonomi Petani dan Menimbulkan Mental Ketergantungan
A. Masyarakat dan Petani Sendirilah yang Akhirnya harus Berjuang
B. Pertanian Ramah Lingkungan Solusi Mengangkat Ekonomi Keluarga Petani
0 komentar:
Posting Komentar